Petrus : Saya Merasa Hak Politik Saya Dikebiri
Jakarta, GemaBerita – Petrus Ricolombus Omba, mantan narapidana yang didiskualifikasi sebagai Calon Bupati Boven Digoel Tahun 2024, mengajukan permohonan pengujian materi Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 mengenai Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebagai pemohon, Petrus mengatakan, dirinya dirugikan akibat berlakunya norma tersebut, akibat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Kepala Daerah, yakni Putusan MK Nomor 260/PHPU.BUP-XXXIII/2025.
Putusan MK Nomor 260/PHPU.BUP-XXXIII/2025 pada paragraf [3.8.6] mengatakan, “…Oleh karena calon Bupati Petrus Ricolombus Omba secara nyata dalam tahap pendaftaran bakal pasangan calon tidak menyatakan dirinya sebagai mantan terpidana, maka Mahkamah menilai Petrus Ricolombus Omba tidak memenuhi syarat formil sebagai calon Bupati Boven Digoel Tahun 2024 dan karenanya Petrus Ricolombus Omba harus dinyatakan di-diskualifikasi dari Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Boven Digoel Tahun 2024.”
“Saya merasa bahwa hak politik saya dikebiri. Saya bisa memilih, tapi tidak bisa dipilih. Itu yang saya minta keadilan,” ujar Petrus dalam sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 32/PUU-XXIII/2025 pada Rabu (23/4/2025) di Ruang Sidang MK, sebagaimana dirilis dalam laman MKRI.id.
Ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada mensyaratkan calon kepala daerah tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
Norma tersebut kemudian telah dimaknai dalam Putusan MK Nomor 56/PUU-XVII/2019 yang berbunyi, “g. tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang;”
Dalam Putusan MK pada perkara PHPU Bupati Boven Digoel Tahun 2024, Pemohon disebut tidak menyatakan diri sebagai mantan terpidana dalam tahap pendaftaran bakal pasangan calon sehingga tidak memenuhi syarat formil sebagai calon bupati. Pemohon mengatakan ancaman pidana yang dikenakan Pemohon karena melakukan desersi militer adalah dua tahun delapan bulan dan mendapatkan vonis enam bulan sehingga tidak berlaku ketentuan pemenuhan syarat “secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana.”
Sementara kata Pemohon, tidak terdapat ketentuan dalam UU Pilkada maupun Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menentukan bentuk dan standar dokumen yang dapat digunakan calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah yang merupakan mantan terpidana untuk memenuhi persyaratan calon kepala daerah. Syarat mengumumkan secara jujur dan terbuka mengenai latar belakang jati diri calon sebagai mantan terpidana melalui media massa lokal atau nasional merujuk Putusan MK Nomor 100/PHPU.BUP-XXIII/2025 hanya berlaku dalam konteks apabila calon yang bersangkutan belum melewati masa jeda lima tahun setelah selesai menjalani pidananya.
Dalam petitumnya, Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “bagi mantan terpidana yang ancamannya di bawah 5 (lima) tahun dan telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka mantan terpidana tersebut telah terlepas dari kewajibannya untuk mengumumkan secara jujur atau terbuka mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana.”
Nasihat Hakim
Perkara ini disidangkan Majelis Hakim Panel yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh dan Hakim Konstitusi Arsul Sani. Suhartoyo menasihati Pemohon sebaiknya memberikan argumentasi mengenai perbedaan untuk ketentuan pemenuhan syarat bagi calon kepala daerah yang pernah menjalani pidana di bawah lima tahun dan di atas lima tahun.
“Itu harus dibedakan bagaimana yang bersangkutan harus mengisi identitas lengkap misalnya dalam Silon (Sistem Informasi Calon),” tutur Suhartoyo.
Sebelum menutup persidangan, Suhartoyo mengatakan Pemohon dapat memperbaiki permohonan dalam waktu 14 hari. Berkas perbaikan permohonan harus sudah diterima Mahkamah paling lambat pada Selasa, 6 Mei 2025. (*)
Komentar