ASN Persoalkan Izin Pergantian Pejabat dari Menteri
Jakarta, GemaBerita – Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan permohonan uji materiil Pasal 162 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada), tidak dapat diterima. Permohonan yang diajukan seorang Aparatur Negeri Sipil (ASN) bernama Paber SC Simamora, tidak jelas atau kabur.
“Pemohon tidak menguraikan argumentasi hukum yang jelas dan memadai, terutama pertentangan norma yang dimohonan pengujian. Setelah mencermati rumusan petitum Pemohon, rumusan pemaknaan berupa rumusan dari norma undang-undang itu sendiri. Sehingga rumusan petitum demikian, menyulitkan Mahkamah untuk memahami hal yang dimohonkan Pemohon,” ucap Wakil Ketua MK Saldi Isra saat pertimbangan hukum y pada sidang Pengucapan Putusan Nomor 2/PUU-XXIII/2025, di Ruang Sidang Pleno MK, Selasa (29/4/2025).
“Mengadili, permohonan Pemohon Nomor 2/PUU-XXIII/2025 tidak dapat diterima,” ucap Ketua MK Suhartoyo membacakan Amar Putusan, seraya mengetuk palu.
Dalam permohonannya yang diucapkan saat Sidang Pendahuluan, Rabu (5/3/2025) Paber mempertanyakan keberadaan kepala daerah terpilih yang tidak diperbolehkan melakukan penggantian pejabat daerah enam bulan sejak pelantikannya dan harus mendapatkan persetujuan menteri. Pemohon menilai Pasal 162 ayat (3) UU Pilkada bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Paber itu menilai, kepala daerah memiliki kewenangan yang sama dengan menteri dan pimpinan lembaga lain sebagaimana diatur dalan Pasal 29 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN. Sehingga kewajiban memperoleh persetujuan dari Menteri Dalam Negeri bagi kepala daerah untuk melakukan penggantian pejabat di lingkungan pemerintah darerah dinilai bertentangan dengan norma Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.
Apalagi, sambung dia, keberadaan Bupati sebagai Kepala Pemerintahan di Kabupaten merupakan Pejabat Pembina Kepegawaian sejak diangkat dalam jabatannya. Karenanya, Bupati berhak untuk melaksanakan tugas Pembina terhadap seluruh Pegawai Negeri Sipil di wilayah pemerintahannya, tanpa harus mendapatkan persetujuan dari Menteri Dalam Negeri.
Kewenangan sebagai Pejabat Pembina tersebut tertuang dalam Pasal 1 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Oleh karenanya, Pemohon menilai ketentuan Pasal 162 ayat (3) UU Pilkada tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi Pemohon. Bahkan norma tersebut berpotensi menghilangkan kesempatan memajukan kesejahteraan atas jabatan baru yang diamanahkan karena harus menunggu enam bulan untuk mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri. (*)
Komentar