Jakarta, GemaBerita – Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda menyepakati wacana penyelenggaran pemilu dan pilkada digelar di tahun berbeda. “Bahwa tahapan pemilu kita, pileg, pilkada, pilpres itu minimal jedanya setahun. Jadi nanti kalau (Pemilu digelar) 2029, ya minimal pilkadanya 2030. Tahun 2031 juga tidak apa-apa,” ujar Rifqi dalam sebuah diskusi di kawasan Menteng, Jakarta, Selasa (29/4/2025).
Menurut Rifqi, setidaknya ada dua alasan mengapa pemilu dan pilkada digelar pada tahun yang berbeda. Yang pertama, untuk memberikan jeda bagi penyelenggara pemilu dalam mempersiapkan tahapan. Alasan lainny, sebagai dasar argumentasi status penyelenggara di provinsi, kabupaten, kota menjadi permanen.
“Tetapi saya juga ingin menyampaikan di forum ini bahwa keinginan untuk menjadikan pilkada untuk tidak langsung juga karena itu, kita juga harus bersiap apapun yang akan terjadi ke depan,” tuturnya.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Mochammad Afifuddin menyebut, tahapan pemilu 2024 dan pilkada serentak 2024, sangat padat dan saling beririsan. Kondisi itu, menurut Anggota Bawaslu RI periode 2022 – 2027 cukup membebani penyelenggara.
“Kalau bisa ada jeda waktu, karena kemarin itu beririsan banget. Belum selesai tahapan pemilu, pilpres, pileg, kita sudah bersiap pilkada,” kata Afifuddin.
Penyelenggaraan pilpres, pileg dan pilkada dalam tahun yang sama hanya terjadi belum pernah terjadi sebelum tahun 2024. Menurut dia, sistem pemilu adalah pemilu yang paling rumit di dunia. Kerumitan ini semakin bertambah karena di tahun 2024, pelaksanaaan pemilu, mulai dari pemilu presiden dan wakil presiden, pemilu legislatif, dan pilkada digelar pada tahun yang sama.
“Pemilu paling rumit ini di Indonesia. Apalagi di tahun 2024, pemilunya kemarin itu dilaksanakan di tahun yang sama. Belum pernah sebelumnya,” ujarnya.
Afifuddin juga menyebut tumpang tindih tahapan menimbulkan tantangan besar, khususnya bagi penyelenggara di tingkat pusat hingga daerah. KPU harus menjalankan beban ganda tanpa jeda waktu yang cukup. Karena itu, dia menekankan pentingnya evaluasi sistemik terhadap desain waktu penyelenggaraan pemilu ke depan.
Kendati demikian, sambung Afif, KPU sebagai pelaksana tidak memiliki kewenangan untuk mengubah desain pemilu, melainkan hanya menjalankan aturan yang telah ditetapkan dalam undang-undang. “KPU ini pelaksana saja. Kalau undang-undangnya lebih cepat, kita bisa rumuskan lebih baik. Tapi kalau dibahas belakangan, ya kita menyesuaikan,” tambahnya.
Ia berharap ke depan penyelenggaraan pemilu bisa lebih ideal dan kolaboratif, terutama dalam menghadapi berbagai dinamika lokal dan persoalan teknis di lapangan, termasuk perbedaan signifikan antara UU Pemilu dan UU Pilkada.
“Pemilu kita ini berat, maka tidak bisa seakan-akan semua tugas itu hanya KPU atau Bawaslu (saja). Harus bareng-bareng,” pungkas dia. (*)
Komentar