GemaBerita – Di sejumlah kota besar, antrean panjang di gerai-gerai emas Antam menjadi pemandangan yang makin sering terlihat. Bukan antrean sembako atau bantuan sosial, tapi orang-orang yang rela menunggu demi membeli logam mulia, bahkan hanya satu hingga lima gram.
Sekilas, ini tampak seperti tren semata, efek dari Fear of Missing Out (FOMO) belaka. Namun apakah benar ini hanya fenomena ikut-ikutan, atau justru sinyal krisis yang lebih dalam?
Analis sektor keuangan dan emas, Ibrahim Assuaibi, melihat gejala ini tidak bisa diremehkan. Menurutnya, pembelian emas secara massal memang awalnya dipicu oleh efek psikologis FOMO, tetapi kini telah berubah menjadi tindakan preventif yang lebih serius.
“Awalnya banyak yang beli karena ikut-ikutan. Tapi sekarang, emas sudah dianggap sebagai alat bertahan hidup,” ujarnya.
Baca Juga : Wow! Harga Emas Palembang Tembus Rp10 Juta per Suku
Faktor pendorongnya bukan tanpa alasan. Ketegangan geopolitik yang semakin memanas, mulai dari konflik Amerika Serikat dengan Iran dan Israel, hingga perang dagang AS–China yang telah mengguncang pasar global.
Salah satu kebijakan paling kontroversial datang dari Donald Trump yang menaikkan tarif impor produk China hingga 245 persen, sebagai respons atas penghentian pembelian pesawat Boeing oleh pihak Beijing.
Dampaknya menjalar cepat. Harga emas melonjak hingga USD 3.300 per ons, sementara di dalam negeri, daya beli masyarakat menurun dan kepercayaan konsumen goyah. Di tengah ketidakpastian ini, emas menjadi simbol stabilitas, bahkan harapan.
Bukan Lagi Soal Gengsi

Yang menarik, sebagian besar pembeli emas saat ini bukan dari kalangan elite atau investor kawakan. Justru kelompok muda yang sudah berkeluarga, namun masih tinggal bersama orang tua atau mertua, menjadi barisan terdepan. Dengan beban hidup yang relatif ringan, mereka mampu menyisihkan sebagian penghasilan untuk membeli emas.
Sementara itu, kelompok keluarga mandiri yang harus membayar kontrakan, biaya sekolah, dan kebutuhan sehari-hari, mengaku kesulitan untuk ikut dalam tren ini.
“Kalau semua pendapatan sudah habis buat kebutuhan, mana bisa beli emas?” kata Ibrahim.
Fenomena ini menunjukkan bahwa kepemilikan emas kini tidak lagi dianggap sebagai bentuk gaya hidup, melainkan bentuk siaga ekonomi. Bukan untuk dipamerkan, tapi sebagai jaring pengaman ketika hal buruk datang tiba-tiba: PHK, inflasi, atau tabungan yang menyusut.
Ketika Literasi Digital Tak Mampu Mengejar

Ibrahim juga menyoroti aspek lain yang luput dari perhatian banyak orang. Kurangnya pemahaman masyarakat tentang investasi emas digital melalui Bullion Bank, sebuah lembaga resmi yang dibentuk untuk mengelola cadangan emas nasional.
“Transaksi Bullion Bank baru mencapai Rp1 triliun, padahal potensinya jauh lebih besar,” ujarnya.
Ia menyayangkan bahwa masyarakat masih lebih nyaman membeli emas secara konvensional di gerai fisik, seperti Pegadaian atau Bank Syariah Indonesia (BSI), alih-alih mencoba platform digital yang sebenarnya lebih efisien dan fleksibel.
Menurutnya, ini bukan hanya soal akses teknologi, tetapi lebih pada kesenjangan literasi keuangan. Gerai Antam pun dinilai belum maksimal mengedukasi publik soal keuntungan emas digital, sehingga antrean panjang tak kunjung surut, sementara stok logam mulia semakin terbatas.
Refleksi dari Situasi Sosial-Ekonomi

Fenomena beli emas massal ini sebetulnya lebih dari sekadar kecenderungan finansial. Ia mencerminkan kecemasan kolektif masyarakat terhadap masa depan. Ketika stabilitas ekonomi terasa rapuh dan ancaman global terus mengintai, masyarakat mencari pegangan yang paling bisa dipercaya, dan emas, sekali lagi, menjadi jawabannya.
Namun jika pemerintah serius ingin memanfaatkan momentum ini untuk memperkuat strategi ekonomi nasional, maka edukasi mengenai emas digital dan Bullion Bank harus ditingkatkan.
Karena di balik antrean emas yang tampak sederhana, sesungguhnya ada ketakutan yang nyata: tentang kehilangan, tentang ketidakpastian, dan tentang harapan terakhir untuk tetap bertahan.
Komentar