Palembang, GemaBerita – Di kota yang dikenal dengan budaya dan tradisinya yang kuat seperti Palembang, pernikahan bukan hanya soal cinta. Ia adalah pertemuan dua keluarga, dua nilai, dan kadang juga dua pandangan tentang bagaimana memulai kehidupan baru.
Salah satu dilema yang kini kerap muncul menjelang hari pernikahan adalah soal mas kawin. Bukan karena maknanya yang berubah, tapi karena bentuknya yang mulai dipertanyakan: emas atau uang tunai?
Harga emas yang terus melambung membuat tradisi pemberian mas kawin dalam bentuk logam mulia kini menjadi beban tersendiri, terutama bagi pasangan muda. Di tengah tekanan ekonomi yang semakin terasa, tak sedikit calon pengantin yang mulai mempertimbangkan pilihan lain. Di sinilah benturan antara cinta dan tradisi mulai terasa.
“Beberapa bulan lalu harga emas masih sekitar Rp800 ribu per gram, sekarang sudah hampir menyentuh Rp1 juta,” ungkap Ahmad, calon pengantin pria asal Palembang.
“Itu belum termasuk jumlah gram yang biasanya diminta. Terus terang, ini mulai terasa berat. Kami pun berpikir untuk menggantinya dengan uang tunai,” tambahnya.
Suara-suara dari Generasi Baru
Di antara generasi muda, muncul pemahaman baru bahwa mas kawin bukan semata tentang kemewahan, tetapi simbol keseriusan. Dan keseriusan itu, menurut mereka, bisa juga diwujudkan lewat uang tunai yang mungkin justru lebih bermanfaat untuk kehidupan awal pernikahan.
“Saya dan pasangan sepakat untuk menggunakan uang tunai sebagai mas kawin,” tutur Reni, calon pengantin perempuan yang tengah mempersiapkan pernikahan.
“Kami ingin sesuatu yang lebih realistis. Uang bisa jadi modal usaha, atau tabungan. Kami ingin fokus pada masa depan, bukan hanya simbol,” sambungnya.
Pilihan seperti ini menunjukkan adanya perubahan cara pandang. Namun, bukan berarti semua keluarga setuju.
Tradisi yang Masih Dijaga

Bagi banyak orang tua, emas bukan sekadar benda mahal. Ia adalah lambang penghargaan, bukti cinta, dan simbol kesungguhan yang tak bisa digantikan.
“Mas kawin dalam bentuk emas adalah bagian dari kehormatan keluarga kami,” ujar Linda, ibu dari salah satu calon pengantin perempuan.
“Itu bukan tentang harga, tapi tentang nilai. Emas punya tempat tersendiri dalam tradisi kami,” timpalnya.
Pernyataan seperti ini menggambarkan bagaimana tradisi masih mengakar kuat. Dan di tengah perbedaan pandangan itulah, dilema antara cinta dan budaya menjadi nyata.
Mencari Jalan Tengah
Di tengah tarik ulur ini, banyak pasangan mencoba mengambil jalan tengah. Ada yang tetap memberikan emas, namun dengan jumlah lebih sedikit. Ada pula yang mengombinasikan emas dan uang tunai agar kedua pihak tetap merasa dihargai dan tidak terbebani.
Langkah ini bukan bentuk menyerah pada tekanan, tapi adaptasi. Tanda bahwa tradisi bisa hidup berdampingan dengan realita, selama esensinya tetap dijaga.
Lebih dari Sekadar Emas

Pada akhirnya, mas kawin (apapun bentuknya) adalah simbol. Ia tidak menentukan seberapa kuat cinta itu, tapi menjadi wujud komitmen yang diberikan dengan tulus. Entah dalam bentuk emas, uang tunai, atau benda lain yang disepakati bersama, nilai mas kawin terletak pada niat, bukan harga.
Di Palembang, kota yang kaya akan adat dan sejarah, perubahan ini mungkin tak terjadi secara drastis. Tapi satu hal pasti, cinta dan tradisi kini mulai berjalan beriringan, tidak saling meniadakan, melainkan mencari titik temu.
Dan dalam setiap prosesi pernikahan, selalu ada ruang untuk membuktikan bahwa cinta bisa menemukan caranya sendiri, tanpa harus kehilangan hormat pada tradisi yang telah mengiringi banyak generasi.
Komentar